Jenderal Besar TNI Haji
MuhammadSoeharto, dipanggil akrab Pak Harto, adalah seorang tokoh terbesar
Indonesia. Beliau memimpin Republik Indonesia, selama 32 tahun. Suatu kemampuan
kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya
(senang atau tidak). Anak petani kelahiran Desa Kemusuk, Argomulyo, Godean, 8 Juni 1921 dan meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008,
itu oleh MPR dianugerahi penghargaan Bapak Pembangunan Nasional.
Ia menggerakkan pembangunan Indonesia dengan
strategi
Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan
pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan
menggapai swasembada pangan (1985). Maka, pantas saja rakyat Indonesia melalui
Ketetapan MPR menganugerahinya penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
Dalam 60 tahun usia republik ini,
Pak Harto mengukir karya besar pembangunan,
dibanding para pemimpin lainnya, mulai dari
Presiden Soekarno,
BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri dan
Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.
Pak Harto berhasil menurunkan secara tajam jumlah
penduduk miskin. Dari 70 juta jiwa atau 60 persen dari jumlah penduduk di era
1970-an menjadi 26 juta atau hanya 14 persen, pada tahun 1990-an.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 persen setahun,
bahkan 8,1 persen tahun 1995. Sektor industri tumbuh rata-rata 12 persen
setahun, peranan industri dalam produksi nasional naik tajam dari 9,2 persen
tahun 1969 menjadi 21,3 persen tahun 1991. Dan pendapatan per kapita meningkat
tajam dari hanya 70 menjadi 800 dolar AS per tahun.
Program Kependudukan dan KB, berhasil gemilang
sehingga Pak Harto memperoleh Penghargaan Tertinggi PBB di Bidang Kependudukan
atau UN Population Award. Penghargaan ini disampaikan langsung oleh Sekjen PBB
Javier de Cuellar di markas besar PBB di New York, 1989.
Terlalu banyak jika disebut satu-persatu. Selama
kepemimpinannya tiada hari tanpa pembangunan. Sementara belakangan ini,
jangankan membangun menyebut kata pembangunan saja sangat jarang. Presiden
sesudah Pak Harto beserta para elit politiknya terjebak dalam euforia
reformasi.
Para elit sibuk memperjuangkan kepentingan
sendiri dan kelompoknya. Stabilitas nasional sangat rendah, tindakan anarkis
dan main hakim sendiri merajalela. Sampai tujuh tahun, krisis ekonomi merambah
jadi krisis multidimensional, belum teratasi. Bahkan belakangan, angka
kemiskinan makin tinggi.
Tak heran, bila keadaan ini membawa ingatan
masyarakat, terutama masyarakat bawah di kota dan pedesaan, kepada sosok Pak
Harto. Bagi mereka, Pak Harto adalah Bapak Pembangunan Indonesia, pemimpin
terbesar Indonesia yang masih hidup saat ini.
Sebagai manusia, apalagi sebagai pemimpin yang
banyak berbuat, pastilah beliau tidak sempurna dan punya kekurangan dan
kelemahan. Tetapi sebagai bangsa besar, sepatutnya bangsa ini menghormati para
pejuang dan pemimpin yang mengabdikan diri kepada bangsa dan negaranya.
Kini, meski usianya semakin tua dan sakit, beliau
masih belum berubah dengan senyum khasnya yang teduh dan kebapakan. Setelah
lengser keprabon, Mei 1998, mantan
Presiden RI kedua itu menghabiskan waktunya di rumah
bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Ia pernah berkata akan meneruskan hidupnya
sebagai pandito.
Pak Harto, memang meneruskan hidupnya demikian.
Menjadi pandito, artinya menjadi orang yang tawakal dan selalu mendekatkan diri
kepada Tuhan. "Kalau kita mendekati Tuhan, berarti tetap mendekatkan diri
pada sifat-sifat Tuhan, yakni sifat yang baik termasuk sifat yang sabar.
Melatih diri untuk berpikir positif. Juga, melakukan sholat." Demikian
ucapannya suatu ketika.
Kesabaran. Itulah kunci yang dipegangnya ketika
banyak hujatan dan cacian dialamatkan kepadanya. Berbagai macam tudingan,
bahkan dakwaan hukum tidak membuat sang Jenderal Besar itu marah. Ia tetap
tenang, tabah dan tawakal.
Maka dalam rangka 60 tahun Indonesia merdeka, dan
Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2005, kami meneguhkan hati memaparkan peran
beliau sebagai Bapak Pembangunan Indonesia. Bahan utama adalah wawancara dengan
di kediaman beliau, jalan Cendana No.8, menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu 8
Juli 1998, selama dua setang jam. Kami pun melakukan serangkaian wawancara
dengan H Probosutedjo, adik kandung satu ibu Pak Harto
pada Kamis 1 September 2005. Selain itu kami juga melengkapinya dari beberapa
referensi, di antaranya buku Otobiografi
Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)Soeharto